SKEPTISISME DAVID HUME


SKEPTISISME DAVID HUME
Oleh: Muh. Minan, M.Pd

Hume lahir di Skotlandia tahun 1711 dan mulai kuliah di Universitas Edinburg pada usia 12 tahun. Ia belajar ilmu hukum, filsafat, sastra dan sejarah. Setelah lulus, ia menekuni bermacam-macam pekerjaan: perdagangan, diplomasi, penulis sejarah dan pustakawan. Pada usia 23 tahun ia menulis karya besarnya A Treatise of Human Nature (tiga jilid) ketika ia tinggal selama tiga tahun di Paris. Naskah buku ini diselesaikannya di perpustakaan sekolah Jesuit di La Flèce, di mana filsuf Rene Descartes pernah sekolah. Buku ini kurang mendapat perhatian dari publik. Buku berikutnya, Essays, moral and political (1741/1742) memperoleh sambutan baik. Karena buku A Treatise kurang mendapat perhatian, Hume kemudian menulis ulang  bagian pertama dari buku tersebut dan diterbitkan dengan judul Philosophical essays concerning human understanding (1748). Buku hasil penulisan ulang ini umumnya lebih dikenal dengan judul edisi keduanya, yakni An Enquiry concerning human understanding (1751). Buku An Enquiry inilah yang umumnya dikenal sebagai karya utama Hume. Sementara itu, bagian kedua buku A Treatise yang ditulis ulang terbit dengan judul An Enquiry concerning the principles of morals (1751). Hume juga menulis mengenai tema sejarah dan agama. Hasil penelitiannya mengenai sejarah Inggris terbit dengan judul A History of England (1754-1762) dalam 6 jilid. Dalam bidang agama, ia menerbitkan buku yang kemudian menjadi sangat terkenal, berjudul The natural history of religion (1757). Gagasan dalam buku ini kemudian disajikan dengan cara yang lebih argumentatif dalam Dialogues concerning natural religion (terbit 1779, setelah ia meninggal dunia). Keduanya buku ini menjadi buku klasik dalam sejarah filsafat agama. Hume bisa dikatakan sebagai filsuf pertama yang berbicara mengenai apa yang kita kenal dewasa ini sebagai sosiologi agama berdasarkan tulisan dan penelitiannya mengenai akibat atau pengaruh agama dalam bidang social dan sejarah.[1] Ia juga menulis biografinya, berjudul My Own Life.
Hume meninggal pada 25 Agustus 1776 dan tidak pernah berhasil mencapai ambisinya untuk menjadi seorang guru besar di universitas di Skotlandia. Penyebabnya semata-mata karena ia menganut pandangan skeptisisme dalam hal agama dan ketuhanan. Hume juga seorang penggemar permainan biliar. Ia bahkan mengaku lebih berbahagia bermain biliar daripada berfilsafat. Hume tidak tahan berpikir berlama-lama memikirkan problem filsafat; ia persis kebalikan Spinoza.  Biasanya setelah bekerja di kamar belajarnya beberapa jam, ia akan pergi ke ruang sucinya untuk bermain biliar, dan melalui permainan itu ia kembali memperoleh semangat untuk berfilsafat. Para komentator menduga bahwa karakternya yang tidak tahan berlama-lama merenungkan problem filsafat itu mungkin merupakan cerminan dari filsafat juga, yakni bahwa filsafat tidak dapat memberi kita kepastian, melainkan hanya kemungkinan-kemungkinan, dan oleh karena itu tidak begitu berguna memikirkan problem filsafat hingga sangat serius dan mendalam.
Seperti Descartes, Hume juga tidak pernah menikah sekalipun ia memiliki teman dekat beberapa wanita. Karena pernah tinggal di Prancis, Hume berteman dengan filsuf Prancis, Jean-Jacques Rousseau. Namun persabahabatan keduanya tidak bertahan lama karena Rousseau menuduh bahwa Hume diam-diam mencoba memfitnahnya. Tapi tampaknya tuduhan itu muncul karena Rousseau mengidap paranoia, sebab tidak ada bukti bahwa Hume melakukan apa yang dituduhkan Rousseau itu.[2] Sewaktu Hume menjelang ajal, penulis James Boswell mengunjunginya dengan tujuan untuk melihat apakah Hume tetap dapat mempertahankan sikap ateismenya di hadapan kematian. Tapi saat itu Hume justru bercanda kepada Boswell mengenai kematian dan kemungkinan kehidupan setelah mati. Sikap Hume ini membuat Boswell justru terguncang. Namun bukan hanya Boswell yang terguncang oleh sikap dan pemikiran Hume mengenai agama dan Tuhan. Tulisan-tulisannya yang sangat kritis mengenai agama, yang beberapa di antaranya -- untuk menghindari kemarahan dari pembaca -- sengaja diterbitkan setelah ia meninggal, juga mengguncang dan mengundang kecaman dari orang-orang beragama. Karena itu, orang berkata, bahkan dari dalam kubur pun, Hume tetap mengguncang agama dan orang-orang beragama, bahkan mungkin hingga hari ini.
Zaman Hume ditandai terutama oleh pergolakan di Eropa sebagai akibat kemajuan sains yang mengguncang banyak nilai-nilai dasar yang saat itu dianut masyarakat. Kemajuan sains ini adalah buah dari Pencerahan (Aufklärung). Para filsuf yang disebut pada awal tulisan ini umumnya menghasilkan pemikiran yang tidak bersahabat dengan kepercayaan dan agama, terutama karena penekanan mereka pada metode ilmiah yang berbasiskan pengalaman empiris. Sistem filsafat mereka hampir tidak memberi tempat kepada iman dan Tuhan. Mereka juga menentang segala bentuk dogmatisme dan intoleransi. Tidak mengherankan jika pencerahan dalam bidang sains itu mendorong banyak orang mempertanyakan kepercayaan-kepercayaan tradisional, termasuk fondasi doktrin agama. Dan itu tidak hanya di Inggris. Spinoza, misalnya, sekalipun tidak menganut empirisme, melainkan rasionalisme, bahkan dikeluarkan dari komunitas Jahudi di Belanda karena pemikirannya yang sangat rasionalis itu dianggap sebagai bentuk penistaan Tuhan. Hume sendiri, dan juga Descartes di Prancis, menerima banyak kecaman karena tulisan-tulisannya yang dianggap sangat kritis terhadap agama.
Pada zaman Hume, dunia intelektual sangat kuat dipengaruhi oleh perkembangan baru dalam ilmu-ilmu alam, terutama melalui karya-karya Newton. Sebagaimana diketahui, melalui metode eksperimen, Newton mampu menjelaskan kompleksitas alam semesta dengan cara sederhana, yakni dengan hukum gravitasi: perputaran benda-benda langit dan pergerakan benda-benda padat disebabkan oleh gaya tarik-menarik antarbenda; gaya tarik-menarik serupa juga terjadi antara matahari dan anggota tata surya lainnya. Prestasi cemerlang ilmu-ilmu alam dalam melakukan “reduksi kompleksitas” untuk menjelaskan fenomena yang kompleks ini menginspirasi banyak filsuf dan ilmuwan untuk menerapkan metode serupa ke ilmu-ilmu di luar ilmu alam. Mereka seakan-akan berlomba menerapkan metode eksperimen atau observasi pada berbagai bidang ilmu. Mereka percaya bahwa pikiran manusia juga dapat diobservasi secara ilmiah dan bahwa melalui obervasi itu mereka akan menemukan metode universal yang juga dapat diterapkan pada ilmuilmu lainnya. Demikianlah, Adam Smith (1723-1790), misalnya, menemukan prinsip sederhana untuk menjelaskan genesis tatanan sosial dan hukum moral, yakni melalui konsep simpati. Kant sendiri menerapkan metode Newton dalam proyek filsafat transendentalnya untuk meneliti kemungkinan metafisika sebagai ilmu pengetahuan. Hume juga demikian. Ia bermaksud menerapkan prinsip serupa pada ilmu-ilmu manusia atau yang saat itu disebut ilmu-ilmu moral (moral science), yakni dengan tujuan untuk menemukan sebuah prinsip yang dapat menjelaskan semua perilaku pikiran dan tindakan manusia.
Seperti Descartes yang hendak membangun sebuah sistem filsafat dengan bertolak dari dasar yang sama sekali baru, yakni rasio, demikian pula David Hume ingin membangun sebuah sistem filsafat dengan bertolak dari dasar yang sama sekali baru, yakni pengalaman manusia empiris. Jadi kedua filsuf ini  samasama ingin membangun sebuah sistem filsafat tapi dari titik awal yang saling bertolak belakang. Hume tidak hendak menghancurkan filsafat, sekalipun ia selalu melancarkan kritik yang sangat keras dan tajam kepada filsafat dan para filsuf sebelumnya. Tujuan Hume adalah membangun sebuah sistem filsafat yang dapat dipertanggung-jawabkan, artinya, yang tidak dibangun di atas asumsi-asumsi atau spekulasi-spekulasi yang sama sekali tidak dapat dibuktikan secara empiris. Ia sendiri berpendapat bahwa filsafat rasionalisme Descartes itu tidak mungkin karena semata-mata mengandalkan pemikiran spekulatif yang tidak dapat dibuktikan. Dalam pandangan Hume, rasionalisme Descartes itu adalah sejenis takhyul modern, yakni ilmu yang tidak dapat dibuktikan secara empiris dan oleh karena itu, penerimaan atas ilmu itu lebih merupakan masalah kepercayaan.
Hume menjadikan manusia sebagai titik tolak penelitian filsafatnya. Mengapa manusia? Jawaban atas pertanyaan ini diuraikannya dalam bagian pengantar untuk bukunya; “A Treatise of Human Nature”. Judul buku ini sendiri sudah dengan jelas menggambarkan isinya, bahwa ini adalah sebuah traktat mengenai hakikat manusia. Dalam pengantar untuk buku ini, Hume mengatakan bahwa karena  ilmu pengetahuan itu adalah ilmu pengetahuan manusia, artinya, pengetahuan yang diperoleh dan diusahakan oleh manusia, maka sudah barang tentu, semua pengetahuan itu tidak dapat dilepaskan dari hakikat manusia sendiri. Misalnya, ilmu logika. Satu-satunya tujuan ilmu logika, dalam perspektif Hume, adalah untuk menjelaskan prinsip-prinsip dan cara kerja kemampuan penalaran manusia dan hakikat ide-ide dalam pikiran kita. Etika atau ilmu moral serta estetika menyangkut cita rasa dan perasaanperasaan manusia. Ilmu politik menyangkut relasi dan ketergantungan manusia-manusia yang terdapat dalam sebuah masyarakat. Bagaimana dengan ilmu-ilmu yang tidak berkaitan secara langsung dengan manusia, misalnya ilmu agama, matematika dan filsafat alam? Hume mengatakan bahwa ilmu-ilmu tersebut juga tidak terlepas dari hakikat manusia itu sendiri. Misalnya, agama. Agama, katanya tidak terutama berkaitan dengan hakikat Tuhan atau perintah Tuhan kepada manusia atau kewajiban kita terhadap-Nya. Akar agama atau faktor-faktor paling mendasar yang mendorong manusia beragama, menurutnya, justru terletak pada hakikat manusia itu sendiri, yakni ketakutan-ketakutan, ketidaktahuan terhadap masa depan, harapan-harapan, kelemahan-kelemahan, serta kelemahan-kelemahan lainnya. Semua sifat ini menjadi akar yang mendorong manusia untuk beragama, katanya.[3]
Berdasarkan fakta-fakta di atas, Hume berkeyakinan bahwa semua ilmu haruslah terjangkarkan pada hakikat manusia itu sendiri, dan oleh karena itu kita perlu lebih dulu mengetahui hakikat manusia sebelum kita mengetahui secara jelas semua ilmu lainnya, karena semua ilmu lainnya itu terjangkarkan pada hakikat manusia tersebut. Tidak ada yang dapat kita ketahui secara pasti sebelum kita memiliki kepastian mengenai hakikat manusia. Implikasi dari prinsip ini adalah bahwa kita perlu mengembangkan sebuah ilmu mengenai manusia yang menjadi basis bagi pengembangan ilmu-ilmu lainnya. “Karena itu jelas bahwa semua ilmu berhubungan, secara erat atau kurang erat, dengan hakikat manusia; dan kendatipun ilmu-ilmu tersebut kelihatan tidak berhubungan dengan hakikat manusia itu, mereka tetap terkait dengan salah satu atau sebagian dari hakikat tersebut. Bahkan matematika, filsafat alam, atau agama alam, hingga tingkat tertentu tergantung dari ilmu manusia, karena ilmu-ilmu tersebut dikembangkan dengan pikiran manusia, dan dinilai melalui daya dan kemampuan manusia tersebut.”
Hume berkeyakinan bahwa hanya dengan lebih dulu mengetahui hakikat manusia itulah maka kita baru dapat mengembangkan sebuah ilmu dengan jangkauan kepastian yang memadai. “Karena itu, dalam usaha untuk menjelaskan hakikat manusia, kita hendak mengajukan sebuah sistem ilmu pengetahuan yang lengkap, yang dibangun di atas fondasi yang sepenuhnya baru, dan hanya di atas fondasi itulah ilmu pengetahuan dapat berdiri dengan kepastian,” tulis Hume. Dalam konteks pengembangan sebuah “ilmu manusia” inilah kita dapat memahami proyek filsafat Hume melalui judul-judul buku utamanya, yakni A Treatise of Human Nature (Sebuah Traktat Mengenai Hakikat Manusia) dan An Enquiry Concerning Human Understanding (Sebuah Penelitian Mengenai Pemahaman Manusiawi).  
Sejarah atau peradaban manusia tidak bertolak dari pemikiran rasional (sebagaimana diasumsikan oleh para pemikir Pencerahan lainnya), melainkan dari keinginan-keinginan atau nafsu-nafsu tertentu, entah itu keinginan untuk terkenal, untuk diakui, untuk hidup lebih bahagia, dan seterusnya. Dan dalam keseluruhan proses itu, akal budi hanya berfungsi untuk melayani keinginan-keinginan tersebut. Hume memperlihatkan bahwa perang antarbangsa sering terjadi justru atas nama keinginan yang tidak “rasional”, misalnya, untuk menyebarkan agama tertentu atau menguasai daerah tertentu.[4] Hume juga memberontak melawan pemikiran rasionalis dalam bidang etika.[5]
Berdasarkan pengamatan atas fenomena manusia tersebut, terutama manusia Eropa pada zamannya, Hume tiba pada konsepsi yang anti-rasionalistik mengenai manusia. Hume lalu meneliti kompleksitas fenomena manusia itu dengan metode yang sama dengan ilmu alam, yakni melalui “pengalaman dan observasi”. Dan sebagaimana ilmu pengetahuan mengenai manusia adalah satu-satunya fondasi yang solid bagi semua ilmu lainnya, demikian pula satusatunya fondasi yang solid yang dapat kita berikan untuk ilmu-ilmu manusia ini harus didasarkan atas pengalaman dan observasi.“[6]
Hume memulai penelitiannya mengenai manusia dengan bertolak dari problematika epistemologi, yakni dengan meneliti bagaimana manusia itu memperoleh pengetahuan? Dan sesuai dengan inti ajaran empirisme, Hume berpendapat bahwa semua pengetahuan didasarkan atas pengalaman indrawi. Pengalaman indrawi itu disebut persepsi. Jadi persepsi adalah objek pengetahuan manusia. Kita tidak boleh salah memahami pendapat ini. Hume tidak mengatakan bahwa objek pengetahuan adalah benda empiris yang ada di luar diri kita. Ia mengatakan bahwa objek pengetahuan adalah persepsi, dan persepsi terbentuk sebagai tiruan (copy) dari benda empiris yang ada di sana. Hume tidak ambil pusing memikirkan apakah benda yang dipersepsi itu ada atau tidak ada secara aktual, yang penting bagi dia adalah bagaimana pengetahuan kita mungkin berdasarkan persepsi (mengenai objek) tertentu yang kita peroleh. Posisi ini yang membuat empirisme Hume menjadi sangat radikal, karena ia bahkan skeptis terhadap keberadaan dunia empiris material.

DAFTAR PUSTAKA

Carlin, Laurence, The Empiricists. A Guide for the Perplexed, Continuum, New York, 2009.
Gaskin, J.C.A. , Hume’s Philosophy of Religion, London: Macmillan Press, 1978.
Hume, David A Treatise of Human Nature, ed. David F. Norton and Mary J. Norton, Oxford, Clarendon Press, 2007.
Hume, David, The Natural History of Religion, ed. A. Wayne Colver, Oxford: The Clarendon Press, 1976.
Riehl, Alois, Philosophie des Kritizismus, Band I., Leipzig, 1924.
Gaarder, Jostein, Dunia Sophie, diterjemahkan oleh Rahmani Astuti, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2018.


[1] J.C.A. Gaskin, Hume’s Philosophy of Religion, London: Macmillan Press, 1978, hal. 146.
[2] Laurence Carlin, The Empiricists. A Guide for the Perplexed, Continuum, New York, 2009, hal.157.
[3] David Hume, The Natural History of Religion, ed. A. Wayne Colver, Oxford: The Clarendon Press, 1976, hal. 26-31.
[4] Sekalipun Hume adalah seorang filsuf Pencerahan yang sangat memuja akal budi, namun melalui refleksi yang sangat kritis, Hume tiba pada konsepsi manusia yang justru beranggapan bahwa manusia itu bukanlah mahluk rasional. Lihat A. Robert Caponigri, A History of Western Philosophy, hal. 326.
[5] Jostein Gaarder, Dunia Sophie, diterjemahkan oleh Rahmani Astuti, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2018, hlm.436-437
[6] David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. David F. Norton and Mary J. Norton, Oxford, Clarendon Press, 2007, hal. 4.

Komentar

Postingan Populer