LAHIRNYA KEMBALI KEKUASAAN ISLAM; KERAJAAN TURKI USMANI
LAHIRNYA
KEMBALI KEKUASAAN ISLAM;
KERAJAAN
TURKI USMANI
Oleh: Muh. Minan, M.Pd
Dalam
sejarah, umat Islam telah mengalami perjalanan panjang yang pasang surut.
Setelah masa khulafaurrasyidin, dimana kekuasaan di bidang pemerintahan telah
berada dalam dua kekhalifahan, yakni
Dinasti Bani Umayyah dan Dinasti Bani Abbasiah. Sejarah telah mencatat,
bahwa kedua dinasti tersebut, telah
mencatat sejarah yang gemilang di muka bumi. Dinasti Bani Umayyah telah
mendirikan imperium belahan barat yang
berpusat di Spanyol dengan Andalusia sebagai pusat pemerintahan, dan Dinasti
Bani Abbasiah menjadi penguasa di
belahan Timur, dengan Bagdad sebagai pusat pemerintahan dan kebudayaan. Setelah
kedua dinasti tersebut hancur, sejarah peradaban Islam dilanjutkan oleh kerajaan-kerajaan
Islam lainya, walaupun tidak sebesar dengan kedua dinasti terdahulu. Satu di antara sejarah peradaban Islam yang
cukup menarik untuk bahan kajian ilmiah, yaitu masa abad pertengahan, khususnya
pada abad ke-17 karena pada masa itu terdapat tiga kerajaan besar, yaitu
Kerajaan Syafawi di Persia, Kerajaan Mughal di India, dan kerajaan Utsmani di
Turki.[1]
Munculnya kerajaan-kerajaan Islam di abad pertengahan, menunjukkan bahwa
kekuatan Islam belum berakhir, walaupun kedua dinasti terdahulu, Umayyah dan
Abbasiah telah hancur.
Lahirnya
kerajaan Turki Usmani telah mengembalikan nama besar kekuasaan Islam. Raksasa
baru ini mengangkang di Bosporus, satu kakinya di Asia dan kaki lainnya di
Eropa. Dia telah mewarisi kekuasaan Bizantium, dan juga mewarisi kekhalifahan
di Arab. Kerajaan Turki Usmani merupakan salah satu kerajaan Islam yang paling
besar serta paling lama berkuasa. Dari berbagai literatur yang membicarakan
tentang asal usul Kerajaan Turki Usmani dapat dipahami, bahwa Kerajaan Turki Usmani didirikan oleh bangsa
Turki dari kabilah Orhuz yang mendiami daerah Mongol dan daerah Utara negeri
Cina.[2]
Bangsa Turki berasal dari keluarga Qabey, sebuah kabilah yang memiliki karakteristik
sebagai al-Ghazw al-Turki, yaitu bangsa Badui yang suka berperang. Cikal
bakal lahirnya kerajaan Turki Usmani bermula dari kafilah yang dipimpin
Arthogrol.[3]
Dibawah
tekanan serangan bangsa Mongol pada abad ke 13 M, mereka melarikan diri ke daerah
barat dan mencari tempat pengungsian ditengah saudara saudara mereka, orang
orang Turki Seljuk, didaratan tinggi Asia Kecil. Disana, dibawah pimpinan
Artoghrol, mereka mengabdikan diri kepada Sultan Alauddin II, Sultan Seljuk
yang kebetulan sedang berperang melawan Bizantium. Berkat bantuan mereka,
Sultan Alauddin II mendapat kemenangan. Atas jasa baik itu, Allauddin
menghadiakan sebidang tanah di Asia kecil yang berbatasan dengan Bizantium.
Sejak itu mereka terus membina wilayah barunya dan memilih kota Syukud sebagai
ibu kota.[4]
Setelah
Artoghrol wafat pada tahun 1289 M, kepemimpinan dilanjutkan oleh putranya Usman.
Pada tahun 1300 M, Mongol menyerang Dinasti Seljuk dan Sultan Allaudin II mati
terbunuh. Sepeninggal Sultan Allaudin II, Seljuk terpecah menjadi
dinasti-dinasti kecil, dalam keadaan demikian, Usman menyatakan kemerdekaannya
dan berkuasa penuh atas daerah yang dikuasainya. Maka sejak itulah kerajaan Turki Usmani dinyatakan berdiri, dan penguasa pertamanya adalah Usman bin Artoghrol. Kerajaan Usmani terus melebarkan sayapnya memperluas wilayah, Setelah usman meninggal, kepemimpinan digantikan oleh Orkhan. Pada masa pemerintahannya, kerajaan Turki
Usmani dapat menaklukan Azmir (Smirna), Thawasyanli, Uskandar, Ankara dan Gallipoli, daerah ini adalah adalah bagian Benua Eropa yang pertama kali diduduki
Kerajaan Turki Usmani.
Faktor penting yang mendukung atas keberhasilan dalam
melakukan ekspansi adalah keberanian, keterampilan, ketangguhan dan kekuatan
militernya yang sanggup bertempur kapan dan dimanapun berada.
Setelah Orkhan meninggal kemudian digantikan oleh
Murad I, yang berkuasa pada tahun (1359 M -1389 M), selain memantapkan keamanan
dalam negeri, ia melakukan perluasan ke daerah Benua Eropa. Ia dapat menaklukan
Adrianopel kemudian dijadikannya ibu kota kerajaan yang baru, Macedonia, Sopia,
Salonia, dan seluruh utara bagian Yunani. Merasa cemas terhadap kemajuan
ekspansi kerajaan ini ke Eropa, Paus mengobarkan semangat perang. Sejumlah
besar pasukan sekutu Eropa disiapkan untuk memukul mundur Turki Usmani. Pasukan
ini dipimpin oleh Sijisman, raja Hongaria. Namun sultan
Bayazid I (1403 M), pengganti Murod I, dapat menghancurkan
pasukan sekutu Kristen Eropa tersebut. Peristiwa ini merupakan catatan sejarah
yang amat gemilang bagi umat Islam.[5] Ekspansi kerajaan Usmani sempat terhenti beberapa lama, ketika ekspansi
di arahkan ke Konstantinopel. Tentara Mongol yang di pimpin oleh Timur Lenk,
melakukan serangan ke Asia kecil. Pertempuran hebat terjadi di Ankara pada tahun 1402 M. Tentara Turki Usmani mengalami kekalahan.
Bayazid bersama putranya, Musa tertawan dan wafat dalam tawanan tahun 1403 M.[6]
Setelah Timur Lenk meninggal dunia tahun 1405 M dan
kesultanan Mongol terpecah-pecah, Turki Usmani
melepaskan diri dari kekuasaan Mongol, selanjutnya mengadakan
perbaikan-perbaikan dan meletakan dasar-dasar keamanan dalam negeri. Usaha ini
diteruskan oleh Murad II (1421-1451 M) sehingga Turki Usmani mencapai puncak
kemajuannya pada Masa Muhammad II atau biasa disebut Muhamad al-fatih (1451 M).
Gelar ini disandangnya setelah ia berhasil menaklukan benteng
Konstantinopel, dengan pengepungan yang
berlangsung selama 54 hari.[7] Setelah
berhasil menaklukkan Konstantinopel, Muhammad Al-Fatih mengganti nama
Konstantinopel menjadi Istanbul yang asal katanya Islambul (artinya Tahta
Islam). Mulai saat itu Kerajaan Turki Usmani memegang kendali dunia islam,
dengan pusat pemerintahannya di Istanbul.[8] Usaha
ini dilanjutkan oleh raja-raja sesudahnya, hingga dikembangkan oleh Sultan
Sulaiman al-Qanun (1520-1566 M).
Kerajaan
Turki Usmani diperintah oleh raja-raja yang memiliki keahlian di bidang politik
pemerintahan, dan kemiliteran, sehingga tidak heran jika kerajaan ini dapat
menguasai daerah yang sangat luas, yang meliputi semenanjung Balkan, Asia
Kecil, Arab Timur Tengah, Mesir, Afrika Utara.[9]
Sebuah
kerajaan, akan selalu mengalami masa gemilang dan masa suram, seperti halnya
dengan kerajaan Turki Usmani. Masa gemilang di alami ketika kerajaan ini
diperintah oleh raja-raja yang memiliki kemampuan pengelola pemerintahan dengan
baik, mengatur pertahanan dan keamanan negara, memiliki kekuatan militer yang
cukup tangguh. Di antara hal-hal yang mendukung tegaknya pemerintahan kerajaan
Turki Usamani adalah tata pemerintahan dan militer yang sangat baik, kemajuan
di bidang ilmu pengetahuan dan budaya, walaupun di bidang ilmu pengetahuan
Turki Usmani tidak terlalu menonjol, tetapi di bidang budaya, Turki Usmani
mengadakan akulturasi budaya antara Arab, Persia, dan Bizantium, sehingga
kerajaan ini memiliki suatu kebudayaan yag sangat kompleks. Selain itu kemajuan
di bidang pertahanan dan kemeliteran sangat pesat. Namun setelah masa gemilang
lewat, masa suram menghantui kerajaan ini, keruntuhan kerajaanpun tidak dapat
dielakkan.
Runtuhnya
Kerajaan Turki Usmani pasca Sultan Sulaiman, diakibatkan karena perebutan
kekuasaan antara putra-putranya sendiri. Para pengganti Sultan Sulaiman,
sebagian orang-orang yang lemah dan mempunyai sifat dan keperibadian yang
buruk. Juga karena lemahnya semangat perjuangan prajurit Usmani yang mengakibatkan
kekalahan dalam menghadapi beberapa peperangan, ekonomi semakin memburuk, sifat
pemerintahan tidak berjalan semestinya. Penguasa Turki Usmani hanya mengadakan
ekspansi, perluasan wilayah, tanpa memperhitungkan penataan sistem
pemerintahan. Hal ini menyebabkan wilayah-wilayah yang jauh dari pusat
pemerintahan direbut oleh musuh dan
sebagian berusaha melapaskan diri. Selain itu, juga disebabkan oleh wilayah
kekuasaan yang sangat luas, sehingga pemerintah kesulitan menjalankan
administrasi pemerintahan. Faktor lain adalah, kelemahan para penguasa,
munculnya budaya pungli, pemberontakan tentara Jenisari, merosotnya
ekonomi, dan terjadinya stagnasi dalam
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Uraiann
di atas menunjukkan bahwa kemajuan dan kemunduran suatu bangsa,
tidak terlepas dari watak para penguasanya. Kerajaan Turki Usmani mengalami
kemajuan di saat penguasanya adalah orang-orang yang memiliki komitmen
memajukan bangsanya, sehingga selain mengadakan perluasan wilayah kekuasaan,
juga tidak melupakan penataan dalam negeri yang telah dikuasainya. Memperbaiki
administrasi pengelolaan negara, kemajuan pertahanan dan militer, kemajuan di
bidang ilmu pengatahuan dan kebudayaan sebagai syarat untuk mengisi pembangunan
bangsa, kehidupan bidang keagamaan yang dapat membentengi negara dari hal-hal
yang bersifat amoral, merupakan persyaratan bagi tegaknya sebuh negara.
Sebaliknya, sebuah negara dengan wilayah yang sangat luas, heterogenitas
penduduk, kelemahan penguasa, akhlak pejabat yang rusak, dan terjadinya
stagnasi dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, merupakan bayangan akan
kehancuran sebuah pemerintahan, dan ini pula yang dialami oleh Kerajaan Turki
Usmani.
H.D.
Sirojuddin AR. mengemukakan beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran
kerajaan Turki Usmani, yang meliputi: perluasan wilayah, administrasi yang
tidak beres, bangsa dan agama yang heterogen, kebobrokan Konstantinopel,
penghianatan para putri istana, pemebrontakan zukisyariah, budaya pungli meraja
lela, dekadensi moral, perang yang berkesinambungan, mengabaikan kesejahteraan
rakyat, dan munculnya gerakan rasionalisme.[10]
Kenyataan-kenyataan
seperti itu telah menjadi momok bagi
setiap kekuasaan. Titik lemah suatu negara atau kekuasaan, jika dalam negara
atau kekuasaan tersebut telah tumbuh sifat-sifat yang demikian. Sifat rakus
kekuasaan wilayah tanpa ada pengaturan yang baik, penghianatan internal, moral
tidak menjadi ukuran dalam pengambilan keputusan, para penguasa berpoya-poya
dengan uang rakyat dan mengabaikan kesejahteraan rakyat, membuat rakyat semakin
tidak berdaya, padahal rakyat adalah tulang punggung suatu negara. Inilah yang menjadi
titik kelemahan Kerajaan Turki Usmani.
Daftar Pustaka
Ansary,Tamim, Dari Puncak Bagdad,
terj.Yuliani Liputo, Jakarta: PT.Serambi Ilmu Semesta, 2017.
Hitti, Philip K, History of The
Arabs , terj. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riadi dan Qomaruddin SF,
cet. ke-1; Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008.
Nata , Abuddin, Sejarah
Pendidikan Islam, cet. ke-2; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010.
Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan
Islam Menelusuri Jejak Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia, cet.
ke-3; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007.
Sirojuddin, H.D, Sejarah Kebudayaan Islam I, Jakarta: Dirjen
Bimbaga Islam, 1995/1996.
Sunanto,
Musyrifah, Sejarah Islam Klasik, Jakarta: Prenada Media, 2003
Supriadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam. cet.
ke-1; Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Syalabi, Ahmad, Sejarah dan
Kebudayaan Islam; Imperium Turki Usmani, Jakarta: Kalam Mulia, 1988.

[1] Dedi Supriadi,
Sejarah Peradaban Islam (cet. ke-1; Bandung: Pustaka Setia, 2008), h.
248.
[2] Abuddin Nata, Sejarah
Pendidikan Islam (cet. ke-2; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), h.
272
[3] Samsul Nizar, Sejarah
Pendidikan Islam Menelusuri Jejak Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia
(cet. ke-3; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h. 197.
[4]
Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam
(Dirasah Islamiyah II), Bandung . PT Raja Grapindo Persada. 2000. h. 129
[5] Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah
II), Bandung . PT Raja Grapindo Persada. 2000. h. 131
[7] Tamim Ansary, Dari
Puncak Bagdad, terj.Yuliani Liputo, Jakarta, PT.Serambi Ilmu Semesta, 2017,
h. 290
[8] Musyrifah
Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 247
[9]
Philip K.
Hitti, History of the Arabs ,
terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riadi dan Qomaruddin SF, (cet.
ke-1; Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008), h. 905-910.
[10] H.D. Sirojuddin, Sejarah Kebudayaan Islam
I (Jakarta: Dirjen Bimbaga Islam, 1995/1996), h. 332-333
Makasih ustadz atas sharing sejarah sejarah perkembangan islam... semangat nulisnya sapa tahu jadi penulis sukses...
BalasHapus