EMPIRISISME JHON LOCKE


EMPIRISISME JHON LOCKE
Oleh; Muh. Minan, M.Pd


John Locke dilahirkan di Somersetshire,  Inggris yang hidup antara tahun 1632 – 1704. Locke hidup dalam sebuah kondisi sosial politik yang kurang kondusif di Inggris. Krisis politik yang terjadi antara pihak kerajaan dengan parlemen telah menyulut berbagai persoalan sosial antara pihak kerajaan dengan para politisi Inggris yang berada di Parlemen. Orang tuanya merupakan seorang ahli hukum yang memihak kepada parlemen menentang kerajaan yang dipimpin oleh King Charles-I. Dari data ini dapat dipahami bahwa sejak kecil Locke hidup dalam sebuah keluarga yang berpendidikan. Kondisi ini ternyata telah mendorong Locke untuk memahami dan mencermati realitas sosial politik yang ada sehingga ia sendiri kemudian ikut terlibat dalam gerakan-gerakan moral dan politik di kampusnya.   

Pada usia muda, John Locke tercatat sebagai mahasiswa pada Oxford University. Selama menjadi mahasiswa ia aktif melakukan berbagai gerakan politik di kampus dalam rangka membangun kepekaan sosial dan kreatifitas mahasiswa dalam dunia politik. Baginya, berbagai gerakan sosial dan politik yang digerakkannya merupakan bagian dari proses pembelajaran menuju kematangan. Setelah menamatkan pendidikan, ia langsung mengajar di almamaternya selama beberapa tahun. Namun karena ia dicurigai oleh pihak kerajaan, maka Locke mengungsi ke Belanda dan baru kembali ke Inggris setelah Revolution of 1688. Sebagai mantan aktivis mahasiswa, John Locke dikenal sebagai seorang yang suka membela kaum lemah, selalu mengkampanyekan pemerintahan yang konstitusional, kebebasan pers, toleransi bagi para penganut agama dan pembaharuan pendidikan [1].
Selain tokoh filsafat,  Locke dipandang sebagai seorang politikus. Paling tidak diperoleh data bahwa terdapat dua buah buku karyanya yang sangat berpangaruh dalam bidang politik yaitu, Two Treatises of Government dan Fisrt Letter Concerning Toleration. Meskipun tampil sebagai ahli politik, namun perhatiannya terhadap dunia filsafat dinilai lebih dominan, sehingga ia lebih populer sebagai tokoh filsafat dari pada tokoh politik. Dalam dunia filsafat ia dipandang sebagai pelopor lahirnya aliran empirisme dalam filsafat.[2]
Karya utamanya adalah Esai Mengenai Pemahaman Manusia (Essay Concerning Human Understanding), yang diterbitkan pada 1690. Disitu Ia berusaha untuk menjelaskan dua masalah. Pertama, dari mana kita mendapatkan gagasan-gagasan kita, dan kedua, apakah kita dapat mempercayai apa yang dikatakan oleh indra-indra kita.[3] 
Berdasarkan riwayat hidup yang ada dapat dikemukakan bahwa John Locke dilahirkan dan dibesarkan di tengah-tengah keluarga berpendidikan. Karena itu bukanlah sesuatu yang sangat mengejutkan bila ia tumbuh dan berkembang menjadi seorang pemuda yang kritis, tolerans dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Kondisi ini didukung lagi oleh tingkat kecerdasan intelektualnya yang dapat dikatakan di atas rata-rata, maka telah mengantarkannya menjadi seorang filosof terkenal di belantara dunia filsafat.
Pada awalnya, kajian filsafat sering dihubungkan dengan berpikir rasional dan segala sesuatau yang bersifat abstrak sehingga telah melahiran aliran rasionalisme. Suatu benda dianggap tidak memiliki makna apa-apa apabila tidak mengandung sesuatu di dalamnya. Sesuatu yang bersifat abstrak yang terdapat pada suatu benda kongkrit dipandang sebagai inti atau ruh dari benda itu sendiri. Karena itu, inti atau eksistensi dari suatu benda terletak pada ruhnya. Benda yang tidak memiliki ruh dipandang sebagai benda mati yang tak berguna. Begitu juga dengan manusia. Aliran ini memandang bahwa hakikat manusia terletak pada akalnya, sedangkan jasad dipandang sebagai sarana tempat bersarangnya akal dan hal-hal lain yang bersifat abstrak. Berbagai gagasan atau idea yang muncul di dalam diri manusia merupakan jelmaan atau bukti nyata adanya akal yang menguasai manusia itu. Pandangan seperti ini umumnya dianut oleh filsafat metaphisika.[4]
Ajaran rasionalisme sebagai suatu aliran Filsafat yang dipelopori oleh Rene Descartes, Spinoza dan Leipniz  beranggapan bahwa akal merupakan sumber utama pengetahuan. Mereka meyakini bahwa manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang berakal. Inilah yang dimaksud dengan Innate Idea, yaitu ide bawaan yang dimiliki sejak lahir. Menurut aliran rasionalisme, terdapat 3 (tiga) jenis ide bawaan yang dimiliki manusia, yaitu : Pertama, Cogitans, artinya setiap manusia telah memiliki kemampuan berpikir semenjak ia lahir. Inilah yang mendasari pemikiran Descartes tentang Cogito Ergo Sum (saya berpikir maka saya ada). Kedua, Deus atau Tuhan, dimana secara fitrah manusia telah mengakui adanya wujud yang sempurna yaitu Tuhan. Ketiga, Extencia, yaitu ide bawaan manusia dimana materi memiliki keluasan di dalam ruang.  
Ketiga bentuk ide bawaan yang diyakini dan dipelopori Descartes dan kawan-kawan memperlihatkan bahwa secara asasi manusia mengakui bahwa ia adalah makhluk yang berakal (berpikir). Dengan akal yang dimilikinya, maka manusia menjadi berbeda dengan makhluk lainnya, sehingga ajaran Islam telah menempatkan manusia sebagai  khalifatullahi fi al-ardh. 
Pemikiran Descartes dan kawan-kawannya tentang ide bawaan yang menjadi cikal bakal lahirnya aliran rasionalisme mendapat kritikan tajam dari John Locke. Locke secara tegas menolak rasionalisme Descartes yang mengedepankan akal sebagai sumber pengetahuan. Ia menyebutkan bahwa akal tidak dapat dijadikan sebagai sumber pengetahuan, karena di samping bersifat abstrak akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Menurutnya, yang menjadi sumber pengetahuan adalah pengalaman dan kemampuan kita untuk belajar dan mengetahui tentang dunia  melalui panca indera.[5] Locke meyakini bahwa manusia saat dilahirkan berada dalam keadaan kosong. Berbagai ide yang ada dalam benak setiap orang sesungguhnya berasal dari pengalaman yang diperoleh melalui panca indera. Gagasan inilah yang kemudian dikenal dengan Teori Tabularasa.
Teori Tabularasa Locke diyakini sebagai cikal bakal lahirnya aliran empirisme dalam sejarah perkembangan filsafat. Para ahli filsafat mengakui bahwa di tangan empirisme Locke, filsafat mengalami perubahan orientasi. Jika pada masa Descartes pengetahuan yang paling berharga bersumber dari akal, maka Locke memandang bahwa pengalamanlah yang menjadi dasar segala pengetahuan. Sudarsono mengemukakan sekilas pandangan para pengikut aliran empirisme yang menyebutkan bahwa akal tidak dapat melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri. Akal serupa dengan secarik kertas yang tanpa tulisan, yang menerima segala sesuatu yang datang dari pengalaman. Locke tidak membedakan antara pengetahuan inderawi dengan pengetahuan akali. Satu-satunya obyek pengetahuan adalah gagasan-gagasan yang ditimbulkan oleh pengalaman lahiriah dan pengalaman batiniah.[6] 
Pernyataan ini memperlihatkan bahwa meskipun John Locke menolak logika Descartes yang menempatkan akal sebagai sumber pengetahuan, namun aliran empirismenya masih dapat menerima keberadaan akal dalam proses menemukan pengetahuan. Akal dipandang sebagai alat atau media untuk menganalisis setiap rangsangan yang diberikan oleh indera. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa keberadaan akal menjadi bagian tak terpisahkan dari proses terjadinya pengetahuan. Artinya, bila pengalaman yang didasarkan pada ketajaman inderawi (empiris) menjadi sumber utama pengetahaun, maka akal (ratio) dapat diposisikan sebagai sumber kedua setelah indera.
Mengingat begitu pentingnya pengalaman empiris dalam menemukan pengetahuan, maka aliran empirisme ini sangat menekankan metode eksperimen sebagai suatu cara dalam proses pencapaian pengetahuan manusia. Untuk itu inductive-verificative methode merupakan metode yang ditawarkan oleh aliran empirisme dalam melakukan pengujian tentang keabsahan suatu pengetahuan manusia. Sehubungan dengan itu maka berbagai fenomena yang terdapat dalam kehidupan sosial akan dijadikan objek telaahan secara kritis dan mendalam sehingga mampu menemukan berbagai pengetahuan ilmiah yang berguna bagi kelangsungan hidup bermasyarakat.
Di samping ajaran tentang filsafat pengetahuan, ajaran  Locke tentang etika juga menarik untuk ditelusuri, terutama berkaitan dengan teori-teori bagaimana sesungguhnya manusia itu bersikap dan berperilaku. Di mata Locke, manusia selalu digerakkan oleh keinginan untuk memperoleh kesenangan. Dalam ajarannya tentang etika, John Locke sangat menekankan agar kehidupan manusia selalu dibimbing oleh kepentingan jangka panjang. Yang dimaksud dengan kepentingan jangka panjang adalah “kebijaksanaan”, yaitu kebaikan yang selalu disebarkan, karena setiap penyimpangan dari kebaikan adalah gagalnya kebijaksanaan itu.[7] Pernyataan di atas menunjukkan betapa Locke sangat memperhatikan persoalan moral dalam kehidupan bermasyarakat. Ia menginginkan kebijaksanaan dalam berbagai bentuknya dapat terwujud dalam kehidupan sosial, sehingga manusia dapat melangsungkan kehidupannya secara wajar, normal dengan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai HAM dan kemanusiaan.
Dalam pandangan Locke, potensi tidak normal dan kekacauan dapat saja terjadi dalam suatu masyarakat yang tidak menjunjung tinggi nilai etika. Etika dapat dibentuk melalui organisasi kemasyarakatan dan para pemimpin organisasi yang senantiasa dapat mengatur dan mengawasi setiap tindakan masyarakat. Organisasi yang dimaksudkan Locke tidak terbatas oleh organisasi kecil, akan tetapi juga organisasi besar (negara) yang memiliki peran bagi pembinaan etika. Dari sinilah Locke mencetuskan teori Kontrak Sosial dalam hidup bernegara, dimana kekuasaan negara  (penguasa) tidak bersifat mutlak, akan tetapi terbatas sesuai dengan perjanjian-perjanjian (kontrak sosial) yang terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan.[8] Hal ini menunjukkan bahwa Locke termasuk tokoh yang memiliki pengetahuan yang luas (multi disipliner), tidak saja dalam ilmu filsafat, akan tetapi juga dalam bidang politik dan hukum, sehingga pengaruhnya begitu besar di berbagai belahan dunia.
Pengaruh Locke paling banyak tersebar melalui karya yang ditulisnya, baik dalam bidang filsafat maupun politik. Tulisan dan pemikiran filsafatnya ikut  mempengaruhi Declaration of Independent Amerika Serikat, bahkan selalu dikatakan bahwa selama berlangsungnya American Revolution, maka party line-nya adalah John Locke. Meskipun Locke dipandang sebagai ahli ilmu politik, namun kebesaran namanya dalam bidang ilmu filsafat telah tidak diragukan lagi. Dalam kancah ilmu filsafat, kehadiran Locke dipandang sebagai tokoh pembaharuan yang berhasil merubah arah kajian filsafat dari aliran rasionalisme ke aliran empirisme. Mazhab empirisme yang dibangun Locke memiliki pengaruh yang sangat besar di Eropah pada abad ke-XVIII, sehingga telah melahirkan ajaran Positivisme yang sangat mengagungkan kebenaran ilmiah. Sebagaimana telah diungkapkan di atas, aliran empirisme memiliki keyakinan bahwa alam semesta adalah segala sesuatu yang hadir melalui data inderawi. Oleh karena itu pengetahuan yang benar-benar meyakinkan haruslah bersumber dari pengalaman dan pengamatan yang empirik. Berdasarkan argumentasi ini, positivisme mengklaim bahwa bahwa puncak pengetahuan manusia adalah ilmu-ilmu yang didasarkan pada fakta-fakta empirik dan terukur atau disebut dengan ilmu-ilmu positif.[9]
Locke menegaskan bahwa akal itu bersifat polos, ia akan terisi bila diisi. Untuk mengisi atau merangsang akal maka diperlukan indera sebagai alat untuk mendapatkan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari. Pengalaman itulah yang selalu mempengaruhi akal untuk bertindak dan berpikir untuk mengetahui sesuatu objek tertentu. Karena itulah Locke kemudian menemukan teori Tabularasa sebagai sumber pengetahuan utama. Teori ini menegaskan bahwa akal itu seperti kertas putih, berbagai ide yang terdapat di dalam benak manusia berasal dari pengalaman manusia itu sendiri. Bila dikaitkan dengan ajaran Islam, maka pemikiran filsafat empirisme Locke (terutama berkaitan dengan teori Tabularasa) dapat diterima dengan mudah, sebab dalam al-Qur’an sendiri dinyatakan bahwa : “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberikan kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.[10] Ayat ini juga memberikan gambaran bahwa pada dasarnya manusia tidak mengerti apa-apa dan akalnya belum berfungsi dengan baik sebelum berinteraksi dengan alam sekitarnya. Sehubungan dengan itu ditemukan juga sebuah Hadits Rasulullah yang menyatakan bahwa : “Setiap anak  lahir dalam keadaan fitrah (suci bagaikan kertas putih)....” (H.R. Buchari)[11].  Berdasarkan ayat dan Hadits tersebut diyakini bahwa pemikiran Locke tentang empirisme sebagai sumber utama pengetahuan manusia dapat diterima dengan baik, hanya saja para pengikut empirisme yang kadang-kadang cenderung mendewakan alam empiris sebagai satu-satunya sumber pengetahuan agaknya perlu dicermati lebih dalam lagi. Meskipun Locke masih mengakui eksistensi Tuhan namun di antara pengikut aliran ini terdapat tokoh yang menolak eksistensi Tuhan, dengan alasan bahwa Tuhan itu tidak dapat dibuktikan secara empiris.

DAFTAR PUSTAKA


Al-Qur’an dan Terjemahnya oleh  Departemen Agama Republik Indonesia, Bandung: Lubuk Agung, 1989.
AM, Suhar, Filsafat Umum: Konsep, Sejarah dan Aliran, Jakarta: Gaung Persada Press, 2009.
Bin Ismail, Muhammad, Al Bukhari dan Abu Al Husein Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyair, Sahih Bukhari Muslim, Jakarta:  Pustaka As Sunnah, 2009.
Gaarder, Jostein, Dunia Sophie, diterjemahkan oleh Rahmani Astuti, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2018.
Q-Anees, Bambang dan Radea Juli A.Hambali, Filsafat Untuk Umum,  Jakarta: Kencana,2003.
Solomon, Robert C & Kathleen M Higgins, A Short History of Philosophy, terj. Saut Pasaribu (Sejarah Filsafat), Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2002.
Sudarsono, Ilmu Filsafat : Suatu Pengantar, Jakarta: Rineka Cipta,1993.
Suhar AM, Filsafat Umum : Konsep, Sejarah dan Aliran, Gaung Persada Press, Jakarta, 2009.
Titus, Harold H, dkk, Living Issues in Philosophy, diterjemahkan oleh Prof. Dr H M Rasjidi, (Persoalan-Persoalan Filsafat), cet.I, Jakarta: Bulan Bintang, 2001.
Ubaedillah, A., dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education), Indonesian Centre for Civic Education (ICCE) UIN, Jakarta, 2006.




[1] Harold H Titus,dkk, Living Issues in Philosophy, diterjemahkan oleh Prof. Dr H M Rasjidi, (Persoalan-Persoalan Filsafat), cet.I, Jakarta: Bulan Bintang, 2001, hlm.174
[2] Bambang Q-Anees dan Radea Juli A.Hambali, Filsafat Untuk Umum,  Jakarta: Kencana,2003, hlm.333
[3] Jostein Gaarder, Dunia Sophie, diterjemahkan oleh Rahmani Astuti, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2018, hlm.410-411
[4] Sudarsono, Ilmu Filsafat : Suatu Pengantar, Jakarta: Rineka Cipta,1993, hlm.3.
[5] Robert C.Solomon & Kathleen M Higgins, A Short History of Philosophy, terj. Saut Pasaribu (Sejarah Filsafat), Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2002, hlm.386
[6] Sudarsono, Ilmu Filsafat : Suatu Pengantar, Jakarta: Rineka Cipta, 1993, hlm.140-141
[7]  Suhar AM, 2009, Filsafat Umum : Konsep, Sejarah dan Aliran, Gaung Persada Press, Jakarta, hlm. 151
[8] A.Ubaedillah.dkk,2006, Pendidikan Kewargaan (Civic Education), Indonesian Centre for Civic Education (ICCE) UIN, Jakarta, hlm.30 – 31
[9]  Suhar AM, Filsafat Umum: Konsep, Sejarah dan Aliran, Jakarta: Gaung Persada Press, 2009, hlm. 151
[10] Al-Qur’an dan Terjemahnya oleh  Departemen Agama Republik Indonesia, Surat an-Nahl ayat 78, Bandung: Lubuk Agung, 1989, hlm.413
[11] Muhammad bin Ismail Al Bukhari dan Abu Al Husein Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyair, Sahih Bukhari Muslim Jilid III, Jakarta:  Pustaka As Sunnah, 2009, hlm.129

Komentar

Postingan Populer