DEMITOLOGISASI ASHABUL KAHFI


DEMITOLOGISASI ASHABUL KAHFI
Oleh; Lilik Nur Hidayah

Perkembangan filsafat dan cara berpikir manusia modern turut berpengaruh dalam bidang teologi, khususnya hermeneutika atau penafsiran Kitab Suci. Menurut sejarah, penafsiran Kitab Suci menemukan warna baru sejak abad ke-19 oleh kalangan teolog liberal. Pada masa itu, muncul istilah kritik sastra tinggi(higher criticism) sebagai sebuah cara baru menafsirkan Kitab Suci, menggantikan pendekatan teologi tradisional gereja yang dianggap tidak lagi aktual dengan keadaan masyarakat modern saat ini. Saat itu juga, lahirlah apa yang sekarang kita kenal sebagai teologi kontemporer.[1]
Salah satu teolog kontemporer yang cukup berpengaruh ialah Rudolf Bultmann. Gagasan Bultmann menarik untuk dibahas karena apa yang digagaskannya tersebut masih hangat diperdebatkan, diterima sekaligus ditolak.
Rudolf Karl Bultmann (20 Agustus 1884 - 30 Juli 1976) adalah seorang teolog Jerman dengan latar belakang Lutheran, yang selama tiga dasawarsa menjadi profesor dalam studi Perjanjian Baru di Universitas Marburg. Bukunya History of the Synoptic Tradition (Sejarah Tradisi Sinoptik) (1921) hingga kini masih dianggap sebagai perangkat penting dalam penelitian kitab-kitab Injil, bahkan oleh para sarjana yang menolak analisisnya tentang trope retorika konvensional atau satuan naratif yang membentuk kitab-kitab Injil, dan prinsip-prinsip yang berorientasi sejarah yang disebut "kritik bentuk".[2]
Pada tahun 1941, Bultmann menerapkan kritik bentuk kepada Injil Yohanes, dan di situ ia membedakan keberadaan dari "Injil Tanda-tanda" yang hilang, yang padanya Yohanes bergantung. Monografnya sangat kontroversial. Pada tahun yang sama kuliahnya Perjanjian Baru dan Mitologi: Masalah Demitologisasi terhadap Pesan Perjanjian Baru, menganjurkan para penafsir untuk menggantikan teologi yang tradisional dengan filsafat eksistensial dari kolega Bultmann, Martin Heidegger, sebuah upaya untuk membuat realitas ajaran-ajaran yesus lebih dapat dipahami oleh para pembaca modern yang terdidik. Bultmann tetap yakin bahwa kisah-kisah kehidupan Yesus menawarkan teologi dalam bentuk cerita. Pelajaran-pelajaran diajarkan dalam bahasa mitos yang dikenal pada waktu itu, semua itu tidak boleh dibuang, melainkan diberikan penjelasan sehingga mereka dapat dipahami untuk masa kini. Bultmann menganggap iman harus menjadi suatu realitas masa kini. Bagi Bultmann, manusia di dunia tampaknya selalu berada di dalam kekecewaan dan kegalauan. Iman harus menjadi suatu tindakan kehendak yang vital dan teguh, bukan upaya mengumpulkan dan mengagung-agungkan "bukti-bukti kuno".
Agar penafsiran Injil terbebas dari mitos, Bultmann menganjurkan  “entmythologisierung” atau “demitologisasi”. Metode ini merupakan suatu metode interpretasi nas Perjanjian Baru dengan menghilangkan bentuk apapun yang dianggap tidak historis serta tergolong mitos untuk menemukan kerangka inti mula-mula yang terkandung di dalam nas tersebut.[3] Tugas penafsir selanjutnya ialah mengklasifikasikan kerangka-kerangka tersebut ke dalam kelompok-kelompok seperti cerita mukjizat, pernyataan yang diperdebatkan, nubuat-nubuat, kata-kata mutiara, dst. Dari sini, barulah dapat dinilai apakah nas-nas yang ditemukan sesuai dengan tradisi asli atau tidak. Baginya memahami bukan sekedar seni atau metode ilmiah, melainkan lebih spesifik lagi sebagi demitologisasi.[4]
Ashabul Kahfi adalah kisah 7 pemuda yang tertidur lelap di dalam gua selama 309 tahun, Kisah ini terjadi sebelum zaman Nabi Muhammad saw. Para pemuda bersembunyi di dalam gua untuk melarikan diri dari kekejaman raja Dikyanus. Kisah ini bersumber dari Al-Qur'an dalam Surah Al Kahfi. Menurut beberapa sejarahwan Islam, ketujuh pemuda tersebut bernama: Maxalmena, Martinus, Kastunus, Bairunus, Danimus, Yathbunus dan Thamlika. Serta seekor anjing bernama Kithmir, yang dipercaya sebagai satu-satunya anjing yang masuk Surga. Banyak yang berpendapat sejarah ini terjadi di Suriah, tetapi ada beberapa ahli Al-Qur'an dan Injil berpendapat mereka berasal dari Yordania. Dalam mitologi Kristen kisah ini dikenal dengan nama The Seven Sleepers. Dalam kisah itu, Maxalmena dikenal juga dengan nama Maximillian. Nama ini merupakan asal-muasal sebutan nama modern untuk Max dan Martin (Martinus, kawan Maxalmena). Umat Katolik Italia menyebut nama Maxalmena dengan sebutan Massimilliano. Kisah Tujuh Orang Pemuda yang Tertidur dari Efesus ini digolongkan ke dalam legenda mitologi Kristen.[5]     
Peristiwa tidur panjang yang pernah dialami oleh Ashabul Kahfi merupakan mukjizat sekaligus fenomena ilmiah yang sangat menakjubkan. Bagi sebagian orang, mungkin merasa sulit untuk mempercayai dan menganggap peristiwa yang melegenda ini hanya mengada-ada atau sebatas cerita rekaan belaka. Padahal, Al-Qur’an tidak membutuhkan pembenaran karena merupakan kitab suci yang penuh hikmah dan tidak ada keragu-raguan di dalamnya. Di awal ayat Al-Qur’an, dengan tegas Allah swt menegaskan : “Alif laam miim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (QS. Al-Baqoroh 2: 1-2).[6]
Kisah Ashabul Kahfi sendiri telah diterangkan dengan begitu jelas dalam Al-Qur’an Surat Al-Kahfi. Tujuan Allah menurunkan Surat Al-Kahfi adalah untuk menjawab tantangan kaum kafir terhadap Nabi Muhammad saw. tentang ‘manusia gua’ yang hidup selama ratusan tahun sebelum Nabi dilahirkan dan menjadi legenda bagi kaum Yunani dan Yahudi.
Kisah tidur panjang tujuh pemuda dan seekor anjing ini dimulai ketika mereka lari untuk menyelamatkan diri ke dalam sebuah gua setelah dikejar pasukan tentara yang ingin membunuh mereka disebabkan keteguhan hati mereka yang tidak mau menyeru kepada Tuhan lain selain Allah. Lantas Allah pun menunjukkan kebesarannya dengan menidurkan mereka selama 309 tahun, lalu kemudian Allah membangunkannya.
Mungkinkah itu terjadi? Masuk akalkah? Bagi orang yang minim ilmu pasti menganggap kisah ini tidak lebih dari sekedar dongeng seperti kisah Lampu Aladin. Meskipun kisah ini diluar batas kewajaran, Allah swt justru berfirman menepis anggapan salah dari fikiran kita: “Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) anjing itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan” (QS. Al-Kahfi 18 : 9)
Ingat, dalam keajaiban lembaran alam ini, masih ada ciptaan yang melebihi keajaiban pada kisah ini. Ibnu Katsir mengatakan : “Apa yang terjadi pada Ashabul Kahfi, bukanlah hal yang mengherankan bila kita menilik kekuasaan Allah yang lain. Seperti, penciptaan langit, bumi, pergantian siang dan malam, penundukan bulan dan bintang dan yang lainnya. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidak ada yang istimewa pada kisah Ashabul Kahfi, sehingga Allah tidak sanggup melakukannya.[7]
Dalam konteks ayat ini dijelaskan bahwa para pemuda belindung dalam gua dan berdoa agar mendapatkan rahmat dari Allah.[8]
Qashas Al-Qur’an memiliki beberapa tujuan, diantaranya adalah:

  1. Pengokohan wahyu dan kerasulan Nabi Muhammad saw
  2. Penjelas bahwa semua agama berasal dari sisi Allah, baik mulai pada masa Nabi Nuh as. Sampai Nabi Muhammad saw. Dan semua orang mukmin adalah satu umat‚ ummah wahidah.
  3. Penjelas bahwa semua agama memilki satu dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.
  4. Sebagai media penyampaian pesan dakwah.
  5. Penjelas bahwa semua agama memilki satu asal, dan masing-masing saling berkaitan.
  6. Penjelas bahwa pada akhirnya Allah selalu menolong nabi-nabiNya, dan menghancurkan para pendusta.
  7. Sebagai pembenar kabar berita gembira dan peringatan.
  8. Penjelas nikmat Allah yang selalu diberikan kepada nabi-nabi dan kekasih-kesaihNya.
  9. Penjelas bahwa setan adalah musuh abadi bagi anak Adam.
  10. Penjelas kekuasaan Allah.[9]
Selain beberapa tujuan diatas, tentunya kisah Ashabul Kahfi ini dapat dibuktikan dengan sains dizaman sekarang. Dimana Ashabul Kahfi bisa dengan tenang dan tetap sehat tidur selama kurun waktu yang lama tanpa mengalami sakit dan terluka. Tempat ini pun tidak ada penghuninya, sehingga tempat ini sesuai untuk kehidupan mereka. Allah swt telah memenuhi semua kebutuhan mereka. Semua itu disebabkan beberapa faktor berikut :
a. Penonaktifan fungsi indra pendengar. Suara dari luar bisa membangunkan orang yang sedang tidur. Ini seperti dijelaskan dalam ayat: “Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu” (QS.Al-Kahfi 18:11)[10]
Yang dimaksud dengan “tutup telinga” disini adalah dengan menonaktifkan fungsi telinga. Indra pendengar adalah satu-satunya indra yang bekerja terus menerus dalam semua kondisi yang juga menghubungkan seseorang dengan sesuatu yang berasal dari luar. Sistem penting ini bertanggung jawab atas kondisi bangun dan sadar, juga pengaktifan operasionalisasi sistem tubuh secara menyeluruh.
Dalam kondisi penonaktifan, seperti dalam kasus pembiusan, seseorang bisa masuk ke dalam tidur yang dalam. Semua sistem operasional yang utama dan sistem panas tubuhnya juga menurun seperti dalam kondisi tidur dan terputus dengan dunia luar. Allah berfirman : “Kami jadikan tidurmu untuk istirahat” (Qs. An-Naba’:9).
Kondisi ini menyebabkan dua hal: Pertama: Menjaga sistem tubuh mereka dari kehilangan fungsinya agar tetap hidup dan bekerja secara minimal. Bagi mereka, jarum waktu berhenti selama mereka berada di dalam gua. Padahal, jarum waktu masih berputar di luar gua. Ini seperti terjadi pada sel dan kulit luar yang terjaga pada kadar panas yang rendah. Sel dan kulit itu berhenti berkembang, meskipun masih hidup. Kedua: Penonaktifan katalisator bagian dalam yang bisa membangunkan orang yang sedang tidur normal dengan perantara sistem yang telah disebutkan diatas, seperti sakit, lapar, haus atau mimpi yang mengejutkan.
b. Allah swt juga menjaga tubuh mereka dalam keadaan sehat secara medis dan melindunginya baik dari dalam maupun luar, dengan cara berikut :
Pertama: Membolak-balikkan badan secara terus menerus selama tidur. Seperti dalam bunyi ayat: “Dan kamu mengira mereka itu bangun padahal mereka tidur; dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, (QS. Al-Kahfi 18:18)
Cara ini dilakukan agar tanah tidak memakan tubuh mereka saat tikar membusuk di kulit mereka, juga saat pembuluh darah dan paru-paru menggumpal. Hal inilah yang disarankan oleh kedokteran modern dalam memberikan terapi pasien yang kehilangan kesadaran atau orang-orang yang tidak mampu bergerak karena lumpuh dan yang lain.
Kedua: Tubuh Ashabul Kahfi dan halaman gua menghadap sinar matahari dengan kadar yang seimbang dan memadai di awal dan akhir siang hari untuk melindungi tubuh mereka dari kadar basah dan keracunan di dalam gua yang gelap. Seperti dijelaskan dalam ayat ini : “Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan,dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri, (QS. Al-Kahfi 18 : 17)
Dalam ayat ini, Allah menerangkan keadaan tempat perlindungan para pemuda tersebut. Di pagi hari matahari terbit dari arah timur dan di sore hari matahari condong ke barat menyelinap gua itu. Dengan demikian, cahaya matahari hanya mengenai langsung pintu gua dari samping kiri dan kanan. Penghuni-penghuni gua itu tidak terkena sinar matahari meskipun mereka berada di tempat yang luas. Ruangan gua itu mendapat cahaya matahari yang membias dari mulut gua, dengan demikian maka ruangan itu tidaklah gelap dan selalu mendapat udara sejuk.[11]
Seperti diketahui secara medis, matahari itu penting sekali untuk pembersihan, penguatan tulang dan kulit manusia dengan pembentukan vitamin D melalui kulit dan manfaat lainnya. Al-Qurthubi dalam tafsirnya berkata tentang ayat: “Bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri” maksudnya adalah bagian kiri mereka terkena sengatan matahari.
Adapun tujuan keterlibatan matahari dalam hal ini, yaitu agar tubuh para pemuda tersebut tidak mengalami penyakit yang akan menimpanya, karena apabila tubuh manusia terkena sinar matahari secara langsung dan terus menerus dalam waktu yang lama maka akan menjadi sakit. Berangkat dari fenomena ini, tidak heran jika kemudian diakhir redaksi; “Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur. Dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka”. Dikatakan juga bahwa matahari ikut tunduk pada perintah Allah agar juga ikut melindungi para pemuda yang beriman tersebut.[12]
Ketiga: Ada celah di atas atap gua yang menghubungkan halaman gua dengan dunia luar. Celah dan halaman itu memungkinkan gua mendapat cukup ventilasi dan cahaya. Ini terlihat dalam firman Allah swt berikut : “… mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapat seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya. (QS. Al-Kahfi 18:17)[13]
Keempat: Allah swt melengkapi mereka dengan keamanan dari gangguan apapun. Mereka seakan tidak mati dan tidak tidur karena tubuh mereka selalu bergerak ke kanan dan ke kiri. Ditambah dengan adanya anjing yang berada di pintu halaman gua sebagai security ala zaman sekarang.
Allah berfirman : “Dan kamu mengira mereka itu bangun padahal mereka tidur; dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan (diri) dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi dengan ketakutan terhadap mereka. (QS. Al-Kahfi 18:18).
Kelima: Allah menjaga kesehatan mata mereka dengan kondisi tidur. Seperti diketahui dalam ilmu medis, mata yang tertidur akan lebih terjaga kerusakannya dibandingkan jika mata selalu dalam kondisi terjaga. Karena jika kondisi mata terbuka di dalam goa yang gelap gulita pada waktu yang lama, akan mengalami kerusakan mata yang berakibat kebutaan. Sehingga kondisi tidurlah yang paling tepat untuk menjaga tubuh dan terutama mata. Allah berfirman : “Dan kamu mengira mereka itu bangun padahal mereka tidur; (Qs. Al-Kahfi : 18)
Dalam ayat ini seakan Allah mengatakan bahwa kondisi tidur mereka seperti orang bangun. Selain ditandai dengan bergerak-geraknya tubuh mereka, juga bisa tersirat bahwa mata mereka sesekali terbuka (berkedip) untuk menjaga mata mereka dari kebutaan.

DAFTAR PUSTAKA


Abineno, J.L.Ch. Rudolf Bultmann dan Teologinya (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2000).
Al Mubarakfuri, Shafiyurrahman. Terjemah tafsir Ibnu Katsir, Bandung: Pustaka Ibnu Katsir, Jilid ke 5.
Al-Qur’an dan Terjemahnya oleh  Departemen Agama Republik Indonesia, Bandung: Lubuk Agung, 1989.
Budiman Hardiman F, Seni Memahami, Yogyakarta: PT. Kanisius, 2015.
Hamid Usman, Mahmud. Tafsir al-Qurthubi al-Jami’ li Ahkami Al-Qur’an, Juz 15. Jakarta: Lentera Abadi.
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982).
Muhammad bin Abdullah bin Bahadir al-Zarkashi, Badru al-Din, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, Juz II (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1376).
Sayyid Qutb, al-Taswir al-Fanni fi al-Qur’an, Kairo: Dar al-Ma’arif.

Internet :
http://alkitab.sabda.org/resource.php?topic=6&res=jpz, diakses pada Jum'at, 11 Oktober 2019
https://id.wikipedia.org/wiki/Rudolf_Bultmann, diakses pada hari Jum'at, 11 Oktober 2019
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Ashabul_Kahfi, diakses pada hari Jum'at, tanggal 11 Oktober 2019



[1] http://alkitab.sabda.org/resource.php?topic=6&res=jpz, diakses pada hari Jum'at, 11 Oktober 2019
[2] https://id.wikipedia.org/wiki/Rudolf_Bultmann, diakses pada hari Jum'at, 11 Oktober 2019
[3] J.L.Ch. Abineno, Rudolf Bultmann dan Teologinya(Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2000), hlm. 11-12.
[4] F. Budiman Hardiman, Seni Memahami, Yogyakarta: PT. Kanisius, 2015. Hal. 144
[5] https://id.m.wikipedia.org/wiki/Ashabul_Kahfi, diakses pada hari Jum'at, 11 Oktober 2019
[6] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan terjemahnya, Bandung: Lubuk Agung , 1989, hal. 8
[7] Shafiyurrahman Al Mubarakfuri, Terjemah tafsir Ibnu Katsir, Bandung: Pustaka Ibnu Katsir, Jilid ke 5, hal. 368
[8] Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), hal. 194
[9] Sayyid Qutb, al-Taswir al-Fanni fi al-Qur’an, Kairo: Dar al-Ma’arif, hal. 120-127.
[10] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan terjemahnya, Bandung: Lubuk Agung , 1989, hal. 444
[11] Badru al-Din Muhammad bin Abdullah bin Bahadir al-Zarkashi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, Juz II (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1376), hal. 227
[12] Mahmud Hamid Usman, Tafsir al-Qurthubi al-Jami’ li Ahkami Al-Qur’an, Juz 15. Jakarta: Lentera Abadi, Hal. 353.
[13] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan terjemahnya, Bandung: Lubuk Agung , 1989, hal. 445

Komentar

Postingan Populer